Sutradara Muda dari ISI Jogja

Sutradara Muda dari ISI Jogja

Nadira Andalibtha, gadis belia kelahiran 21 tahun silam yang asli Banyuwangi ini mewarisi bakat seni khususnya sastra dari ayahnya. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan bacaan-bacaan bergenre puisi. Latar belakang ayahnya yang guru Bahasa Indonesia sangat memungkinkan Nadira untuk akrab dengan seni berpuisi. Berkat ayahnya yang senantiasa memperkenalkan pada pilihan-pilihan diksi indah sejak usia dini, Nadira membakar semangatnya untuk mengikuti jejak sang ayah.

Sejak duduk di bangku SD, Nadira sudah merasakan kecintaannya pada puisi. Ia menceritakan, "Saya mulai mengenal puisi pada kelas dua SD berkat guru saya. Saat saya kelas tiga, ayah membelikan sebuah laptop sebagai hadiah ulang tahun. Syaratnya, saya harus membuat satu puisi setiap hari." Dari konsistensinya ini, Nadira berhasil menulis banyak puisi, hingga menerbitkan buku antologi pertamanya berjudul "Lilin Kehidupan," yang sempat tersedia di toko buku Gramedia.

Nadira kemudian mengepakkan sayapnya dengan berlatih membaca puisi. Dari kerja keras berlatih tersebut, ia berhasil memenangi juara 1 lomba baca puisi untuk kelas rendah (kelas 1—3) dalam even FLS2N. Selanjutnya, pada even-even lomba baca puisi yang diikutinya selalu dia mendapatkan juara. Bahkan, hingga jenjang SMA pun predikat juara lomba baca puisi tidak pernah lepas darinya.

Nadira mengambil langkah berani dalam perjalanan kreatifnya setelah lulus SMA. Ia melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, mengambil program studi Film Televisi. Pendidikan ini mengubah arah kreativitasnya, membuka pintu untuk membuat naskah film dan memproduksi film. Di sini tidak hanya menjadi penulis naskah, Nadira juga sering berperan sebagai sutradara dalam produksi filmnya.  

Nadira sangat konsen memilih tema budaya sebagai fokus utama dalam karyanya. Beberapa karyanya bisa disebut di sini di antaranya film berjudul Rencang. Film ini bercerita tentang anak kecil yang dibungkus dengan cerita keserakahan pernah ditayangkan dalam Film Festival Pestapora. Ada pula film berjudul Dongeng Sebelum Tidur. Film ini pernah berada di Jogja Nasional Museum. Film berjudul Garising Pesti bercerita tentang jurnalis wanita yang penasaran dengan berita yang termuat dari tragedi ngelarung yang merenggut tujuh korban. “Film yang disebut terakhir ini, Garising Pesti, berhasil menyabet gelar Terbaik Pertama di ajang Banyuwangi Film Festival (BFF) 2023.," ujar Nadira.

 

Melalui film-film yang diciptakannya, Nadira berhasil membuka mata banyak orang terhadap kekayaan budaya yang ada dalam tradisi masyarakat. Film-filmnya mendapat apresiasi luas dari penonton karena mampu mengungkap sisi lain dari tradisi budaya yang sering terlupakan. Nadira bertekad untuk terus meningkatkan kuantitas dan kualitas karyanya dalam dunia perfilman. Baginya, film adalah medium yang memungkinkannya untuk menyampaikan pesan-pesan mendalam dan mengungkapkan aspirasinya kepada dunia. Dengan semangatnya yang tak kenal lelah, Nadira siap membawa inspirasi kepada banyak orang melalui karya-karyanya yang penuh makna.***