MENEBAR VIRUS MENULIS

MENEBAR VIRUS MENULIS

Karya sastra sejak dahulu diajarkan seperti halnya rumus-rumus. Demikian yang dikatakan oleh Taufik Ismail, Sang Maestro Sastrawan Indonesia. Karya sastra di hadapan anak-anak tidak memiliki jiwa. Anak-anak tahu karya sastra hanya sekadar tulang berbungkus kulit ari. Sangat tidak mengena pada hakikat karya sastra sebagai media penyampai pesan moral, keindahan, nasihat atau bahkan kritik. Karya sastra di hadapan anak-anak hanya sebatas permainan kata-kata; majas, kias, konotasi, dan sebagainya. Hingga pada titik kulminasinya, sastra dalam pembelajarannya tidak mampu merangkul minat baca dan minat tulis murid. Jika kenyataan demikian terus saja berlangsung dan dibiarkan, karya sastra tentu hanya akan menjadi kumpulan lembaran tugas belajar. Bagaimana solusinya?

Upgrade Pola Pikir dan Pola Ajar Guru       

Kurikulum 2013 telah bermetamorfosis menjadi Kurikulum Merdeka. Kurikulum Merdeka konon hadir dengan berbagai evaluasi dan revolusi yang sepertinya akan banyak memberikan ruang dan waktu kepada murid untuk lebih banyak bergaul dengan karya sastra, meski secara khusus tidak menjadi sasaran akhir penilaian. Guru sebagai pelaksana kurikulum enggan berimprovisasi pada pembelajarannya sehingga murid hanya menerima sekadar yang tertera dalam uraian CP. Karena faktanya demikian, tentu jalan yang terbaik ditempuh adalah kebijakan untuk segera meng-upgrade pola pikir dan pola ajar guru. Isyaratkan dalam kurikulum perihal membaca, menulis, dan apresiasi sastra lebih massive lagi. Isyaratkan pula berapa buku bacaan sastra yang harus dilahap tuntas oleh guru dan siswa dalam satu tahap waktu tertentu. Berapakah pula karya tulis yang mesti dihasilkan guru dan siswa dalam satu kurun waktu terbatas.


Rangkul Guru dengan Pendekatan Pragmatis

Apa yang pernah menjadi kegalauan Taufik Ismail pada tahun 1999 silam patut direnungkan. Guru tidak lagi disuruh mengajarkan tentang sastra, tetapi ajaklah guru untuk mengajarkan bagaimana membaca dan menulis karya sastra. Untuk itu, tujuh pilar berikut ini bisa dijadikan acuan dalam pengajaran sastra di sekolah. Pertama, bimbing siswa memasuki ranah karya sastra dengan menyenangkan. Ajak para siswa menyanyikan pantun bersama-sama. Bawalah gitar dan dendangkan sajak-sajak remaja karya penyair-penyair muda. Kedua, jangan bebani siswa dengan hapalan-hapalan tentang unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Sodori mereka cerpen-cerpen ringan. Suruh mereka membaca, lantas ajaklah mereka menulis cerpen. Ketiga, tata bahasa tidak lagi diajarkan secara teoretis, tetapi dicek penggunaannya dalam karangan siswa. Berilah kesempatan  peserta didik kita berekspresi dan berkreasi melalui tulisan. Jangan batasi dengan tema dan tujuan penulisan. Setelah jadi tulisan, anak-anak akan tahu dan menyadari dengan sendirinya apa tema yang pantas ia tulis dan dengan tujuan apa dia menulis. Keempat, suruh anak membaca langsung karya sastra, bukan ringkasannya. Acapkali, alasan kesulitan menemukan buku dimaksud menjadi dalih sahnya. Memang, di daerah kita ini, kita masih kesulitan/kejauhan menjangkau buku-buku yang bagus dan layak baca. Salut kepada komunitas literasi yang sering menggelar tikar di  area-area publik dan menyediakan aneka buku bacaan gratis kepada para pelintas.  Kelima, kelas mengarang dilaksanakan dengan menyenangkan. Ajaklah anak-anak kita menulis pengalaman pribadinya, lantas suruh temannya membaca dan meneruskan kemungkinan cerita yang terjadi. Lakukan terus hingga seluruh kelas menuangkan imajinasinya dalam satu rangkaian cerita berbutar tadi. Niscaya lambat laun imajinasi siswa akan terasah hingga meletup-letup ingin segera tercurah. Keenam, ketika membicarakan sastra, aneka tafsir harus dihargai. Biarkan anak-anak memahami karya sastra dengan kemampuan imaji dan nalarnya. Apapun tanggapan yang mereka hibahkan entah nagatif, entah positif, hakikatnya adalah sebuah penghargaan dan inilah yang disebut apresiasi terhadap karya sastra. Ketujuh, Pengajaran sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai positif (carachter building). Ketika mengaji sastra, sedapat mungkin arahkan siswa pada karya sastra yang sarat etika dan estetika.

Ketujuh pilar tersebut diinternalisasikan kepada guru-guru Bahasa Indonesia. Dipahamkan dengan sungguh-sungguh kepada mereka untuk kemudian diimplementasikan dalam pembelajarannya. Lokakarya atau workshop sebagai pendekatan pragmatik bagi guru-guru Bahasa Indonesia adalah wadah yang sangat disarankan untuk diselenggarakan berkelanjutan.

            Sejalan dengan hal tersebut, Komunitas Belajar Tukar Tugu (saTU Karya saTU Guru) direkomendasi untuk menjadi provokator agar syahwat menulis dan membaca para guru dan murid tumbuh pesat dan meluas. Sepertinya kita sepakat dengan ungkapan di bawah ini.                     

Saya dengar, saya lupa.

Saya lihat, saya ingat.

Saya kerjakan, saya pahami.

Saya tulis, saya berbagi.

 

Apa Selanjutnya?

Selama ini pembelajaran yang berlangsung di ruang kelas terkesan monoton dan  menjenuhkan. Murid duduk mendengarkan guru menerangkan materi pembelajaran dan selanjutnya siswa mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Proses belajar mengajar di sekolah, sering memperlihatkan indikasi yang kurang bersemangat, ogah-ogahan dan kurang bergairah. Hal ini terlihat jelas dari tingkah laku siswa  yang berteriak-teriak, menguap dengan suara yang dikeraskan, menyanyi, memukul-mukul bangku, keluar masuk kelas tanpa izin pada waktu pembelajaran dan lain-lain. Munculnya gejala-gejala ini lebih disebabkan oleh adanya perasaan bosan dan  jenuh yang muncul pada diri siswa sebab belajar di kelas sudah dilakukan siswa sejak duduk di bangku sekolah bahkan dari Pendidikan Anak Usia Dini.

Pembelajaran bahasa Indonesia pada aspek menulis selama ini memang cenderung kurang maksimal. Padahal keterampikan menulis  sangat penting diberikan kepada siswa untuk melatih menggunakan bahasa secara aktif. Di samping itu, di dalamnya tercakup banyak unsur pembelajaran kebahasaan termasuk kosa kata dan keterampilan penggunaan bahasa itu sendiri dalam bentuk bahasa tulis. Akan tetapi dalam hal ini guru bahasa Indonesia dihadapkan pada dua masalah yang sangat dilematis. Di satu sisi guru bahasa harus dapat menyelesaikan target kurikulum yang harus dicapai dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Sementara di sisi lain porsi waktu yang disediakan untuk pembelajaran menulis relatif terbatas, padahal untuk menulis seharusnya dibutuhkan waktu yang cukup panjang, karena diperlukan konsentrasi, pemahaman menyusun kalimat dan paragraf-paragraf sehingga tersusun sebuah karya tulis yang layak untuk dibaca. Waktu yang dibutuhkan untuk berlatih guna mencapai keterampilan tersebut relatif lama. Dari dua persoalan tersebut kiranya dibutuhkan kreatifitas guru untuk menyusun rencana sedemikian rupa sehingga materi pelajaran menulis dapat diberikan semaksimal mungkin dengan tidak mengesampingkan materi yang lain.

Para guru (bahasa Indonesia) pada umumnya kurang maksimal memberikan pembelajaran menulis. Hal ini lebih karena sang guru sendiri minim aktivitas menulisnya. Bagaimana mungkin guru mengajarkan menulis sementara ia sendiri enggan menulis?

Satu tawaran bagus sepertinya harus segera kita tangkap, satu pendekatan yang mungkin dapat dijadikan alternatif bagi guru bahasa Indonesia untuk menumbuhkan gairah dan motivasi siswa untuk mengikuti aktivitas pembelajaran menulis di kelas ialah dengan pendekatan here and now. Anak-anak menuliskan apa yang ia lihat dan rasakan di sini dan sekarang. Biarkan mereka menggunakan panca inderanya untuk menangkap gejala yang ada di sekitar mereka di sini dan sekarang. Lalu, perintahkan mereka menuangkan tangkapan indera mereka dalam bentuk tulisan. Apa wujud tulisannya? Jangan lingkupi kreativitas mereka dengan bentuk, biarkan dulu berwujud tulisan, baru setelah itu arahkan. Niscaya, jadilah nanti apa yang disebut puisi dan atau cerpen.

Pembelajaran dengan pendekatan here and now  ternyata sangat berpengaruh terhadap perhatian, minat dan sikap siswa. Pada pembelajaran sebelumnya, antusias siswa tidak seperti pada saat pembelajaran dengan metode ini. Pada saat brainstorming, curah gagasan, anak-anak aktif berebut untuk mendapat kesempatan membacakan hasil karyanya. Sangat membanggakan! Apa beratnya jika Anda mencoba? ***