BENGKOK BISA DILURUSKAN, KESALAHPAHAMAN BISA DIBENARPAHAMKAN

BENGKOK BISA DILURUSKAN, KESALAHPAHAMAN BISA DIBENARPAHAMKAN

Banyak persilisihan terjadi sebab berawal dari kesalahpahaman. Ujungnya saling melaporkan ketidaknyamanan yang dialami ke pihak kepolisian atau lembaga berwenang lain. Jika sudah masuk ke ranah lapor melapor, bukan hal mudah lagi untuk menyelesaikannya. Masing-masing pihak yang berseteru pasti bertahan dengan argumen pembenarnya. Belum lagi adanya pihak “ketiga” yang dilibatkan dalam penanganan perselisihan tersebut, bisa jadi masalah justru makin mengusut. Ujung benang tidak lagi tampak, apalagi pangkalnya.

Kunci pokok setiap persoalan sebenarnya ada pada komunikasi. Minimnya akses untuk saling berbagi informasi, cerita, kronologi menjadi sebab perselisihan kecil menjadi besar. Bahkan sebaliknya, persoalan besar justru diperkecil lingkup penyelesaiannya. Wabakdu, akar perselisihan tidak sampai tercerabut hingga berpotensi tumbuh dan bertunas kembali. Masalah lama muncul kembali dengan versi dan sudut pandang yang berbeda.

Demikian pun peristiwa yang akhir-akhir ini marak terjadi di lingkup sekolah. Peran guru dalam menjaga dan membimbing murid pada hakikat tujuan pendidikan seolah mengalami degradasi. Hal ini justru relatif datang dari dalam lingkaran pemeduli pendidikan itu sendiri. Guru sering direpotkan dengan berbagai aduan justru dari wali murid atau masyarakat yang peduli pada pendidikan. Padahal, guru melaksanakan tugas profesional dengan batasan-batasan normatif-regulatif yang dipahaminya.

Semua pihak mesti menyadari bahwa menciptakan “ruang pembelajaran” adalah pekerjaan yang sulit dan menantang. Apalagi saat ini, anak-anak mengalami tekanan dari tantangan-tantangan emosi, mental, dan fisik yang memengaruhi perilaku dan kemampuan belajar mereka. Mereka berada dalam situasi yang belum bisa mereka sadari. Mereka butuh pendamping dan petunjuk arah agar tidak tersesat. Sayangnya, sebagai orang dewasa, kita acapkali mengabaikan hal ini. Kita lupa bahwa besi yang bengkok pun bisa diluruskan.

Undang-undang Guru dan Dosen  (pasal 20) menjelaskan tentang kewajiban bagi guru untuk menjalankan tugas profesionalnya dengan memberikan hak untuk memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan dan memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas. Ancaman dan sanksi terhadap guru yang melanggar kewajiban itu juga diatur (pasal 77) dalam Undang-undang Guru dan Dosen. Namun, seringkali persepsi dan penafsiran orang berbeda terhadap undang-undang dan peraturan yang berlalaku. Akibatnya, silang pendapat sering terjadi dalam penyikapan suatu persoalan yang terjadi di lingkup Pendidikan.

Komunikasi yang berjalan dengan baik dan dilakukan secara berkala antara sekolah, wali murid, dan masyarakat peduli pendidikan bisa meminimalkan kesalahpahaman dan perbedaan persepsi terhadap kewajiban dan hak masing-masing. Undang-undang Guru dan Dosen beserta peraturan-peraturan turunannya bisa dimaklumi dan dibenarpahamkan bersama. Sehingga ketika muncul persoalan dalam koridor pendidikan dan pengajaran, masing-masing pihak dapat mendudukkan persoalan dengan baik. Sekolah, wali murid, dan masyarakat memahami dan mengambil peran sesuai dengan porsi masing-masing. Adioz!***